MENGEJUTKAN. Tiba-tiba sistem pemilu proporsional terbuka dipersoalkan. Bahkan sampai digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mungkinkah sistem Pemilu kita akan kembali seperti Orde Baru?
Ya, diketahui saat ini, ada enam orang pemohon kader parpol dan warga non-parpol terkait gugatan ke MK agar pemilu dikembalikan menjadi proporsional tertutup. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Periuangan menjadi satu-satunya parpol di Senayan yang mendorong usulan itu.
Harus diakui jika sistem Pemilu hanya coblos logo partai tersebut di masa lalu telah menghasilkan oligarki di dalam partai. Bisa dikatakan, partai menutup rapat-rapat kompetisi antar kader. Harus juga diakui, jika sistem porposional tertutup sebagai sistem Pemilu yang gagal mendekatkan para wakil rakyat dengan konstituennya.
“Rakyat bak membeli kucing dalam karung. Meski ada wacanakan gambar para Caleg tetap dipajang di TPS”.
Memang, sistem Pemilu proporsional tertutup akan sangat menguntungkan bagi para politisi oportunis yang tak mampu berkomunikasi dengan publik, juga menjadi lahan basah bagi elit parpol, penentu nomor urut.
Ya, terbuka atau tertutup pada sistem Pemilu sah menurut konstitusi. Sebab, Undang Undang Dasar 1945 sebagai batu uji, menyebutkan penyelengara pemilu bersifat independen dan tetap. Tidak menyebutkan apakah sistem pemilu proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup.
Hal tersebut ditegaskan Akademisi Hukum Tata Negara Universitas Lampung (Unila), Iwan Striawan saat dimintai tanggapan terkait wacana kembalinya sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup, Rabu (04/01/2023).
Menurut pria yang akrab disapa Cak Iwan itu, sebagian gugatan tersebut di MK telah diterima. Karenanya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tengah mewacanakan pemilu proporsional tertutup dengan daftar list, sama persis dengan sistem pemilu pada tahun 1999.
“Daftar Calon Legislatif (caleg) ditampilkan pada papan pengumuman, akan tetapi masyarakat hanya memilih gambar partai politik,” kata dia.
Kedua sistem Pemilu tersebut, lanjut Cak Iwan, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun, kata dia, paling tidak jika sistem Pemilu porposional tertutup benar-benar digunakan, praktik jual beli suara di masyarakat akan berkurang.
“Sistem pemilu proporsional terbuka, kecenderungan politik uang akan menyasar masyarakat. Hal tersebut karena masing-masing caleg berlomba-lomba memperoleh dukungan dengan menebar uang ke masyarakat,” jelas dia.
Sementara sistem pemilu proporsional tertutup, tambah dia, politik uang hanya menyasar segelintir elit partai. Karena elit partai menjual kursi ke penawar tertinggi atau akrab dengan istilah menjual kursi jadi.
“Sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup seperti buah simalakama, dimakan bapak mati, tidak dimakan ibu mati. Jikalau memakai sistem terbuka politik uang menyasar masyarakat, kalau sistem tertutup politik uang menyasar elit Parpol,” ungkapnya.
Perhyataan Cak Iwan tersebut, sekaligus menyangsikan kinerja Bawaslu dalam sistem Pemilu porposional terbuka. Sebab, kata dia Bawaslu, Gakumdu dan lembaga yang lain, tidak mungkin bisa memberantas politik uang secara keseluruhan.
Belum lagi, menurutnya, jika ditinjau dari perspektif lingkungan. Sebagaimana Pemilu sebelumnya, masyarakat akan disuguhi dengan perubahan kota yang tiba-tiba jadi hutan Spanduk, Banner dan Baliho.
Bagaimana tidak, alat peraga Caleg, Capres dan Cawapres akan memenuhi tiang listrik, pohon dan pemasangan tiang-tiang Baliho baru di pusat singga pinggiran kota.
“Prinsipnya terbuka atau tertutup sistem Pemilu, tentu semangatnya adalah terciptanya demokrasi yang bersih dan menghasilkan para wakil rakyat yang berintegritas. Para petinggi Parpol pro sistem porposional tertutup juga harus mempertimbangkan hak rakyat, yang juga ingin terlibat langsung dalam menentukan wakilnya di parlemen”. (tim/red)