Skip to content
Facebook
Twitter
WhatsApp

PEMBARUAN.ID – Akademisi Universitas Lampung (Unila) menilai lembaga penyelenggara Pemilu, seperti Bawaslu yang saat ini sedang proses seleksi menjadi ajang bagi pencari kerja, bukan lagi jadi tempat mengabdi.

“Ya, indikasinya jelas bahwa lembaga Bawaslu bukan sebagai tempat pengabdian, melainkan sebagai ajang pencari kerja,” kata Dosen Hukum Tata Negara, M Iwan Satriawan, belum lama ini.

Menurut Iwan, 80 persen pendaftar calon anggota Bawaslu Lampung merupakan orang lama (petahana).

Petahana-petahana tersebut, lanjutnya, sebelumnya menjalankan tugas di Bawaslu Kabupaten/kota, kalau tidak di Bawaslu Provinsi itu sendiri.


“Ada yang sebelumnya di Panwascam, Bawaslu Kabupaten/kota hingga di KPU sudah dua periode, karena di KPU tidak diperbolehkan lebih dari dua periode, maka pindah mendaftar di Bawaslu, begitupun dengan Bawaslu kabupaten/kota yang sudah dua periode maka naik ke Bawaslu Provinsi,” tuturnya.

Mengapa bisa demikian? Menurut Iwan, dikarenakan orang-orang yang terlibat di lembaga kepemiluan hanya itu-itu saja, sehingga tidak terdapat peningkatan dan kebijakan yang memuaskan.

Target mereka juga, hanya sebatas meningkatkan jumlah pemilih. Bukan pada demokrasi substansialnya agar terpilihnya pemimpin yang baik.

“Bawaslu hanya menjalankan tugasnya secara formal, tanpa memperhatikan terpilihnya pemimpin yang berkualitas,” ujarnya.

Selamai ini, tambah Iwan, cara berpikirnya yang penting sudah meningkatkan jumlah pemilih dan telah menyelengarakan proses pemilihan, persoalaan tidak terpilihnya pemimpin yang amanah, bukanlah menjadi persoalaan Bawaslu.


Seharusnya, oreintasi calon anggota Bawaslu mengarah pada perbaikan proses pengawasan Pemilu, bukan justru untuk mendapatkan sebuah pekerjaan.

“Meski, siapapun berhak mendaftar sebagai calon anggota Bawaslu, karena hal tersebut merupakan hak asasi masing-masing,” ucapnya.

Fakta-fakta sebagaimana disebutkan di atas, meski terbilang pahit, lanjutnya, tapi itu merupakan sebuah fakta yang ia ambil dari penelitiannya.

Selain itu, ia juga menyoroti minimnya akademisi yang mendaftar sebagai calon anggota Bawaslu.

“Dominan para pendaftar memiliki track recond aktif di jalanan, LSM, hingga aktivis-aktivis di lingkar demokrasi,” jelas dia.


Sementara para akademisi, lanjutnya, yang memiliki kapasitas teori tentang kepemiluan tidak mendapatkan akses untuk terlibat dalam lembaga kepemiluan.

“Idealnya terdapat akademisi di lembaga Bawaslu. Hal tersebut karena bawaslu tidak hanya kerja praktik tetapi juga kerja konsep atau kerja pemikiran,” ungkapnya.

Selain itu, dari komposisi Timsel juga, hanya sedikit yang memahami Pemilu. Bagaimana mau menguji pendaftar tentang Pemilu, tanpa memahami arti, filosofi dan subtansi dari Pemilu itu sendiri.

Meski Timsel ditentukan oleh Bawaslu RI, hal tersebut dikarenakan menganut sistem disentralisasi. Jadi di daerah hanya menjalankan intruksi dari Bawaslu Pusat.

Diketahui, beberapa waktu lalu, Timsel calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Lampung resmi mengumumkan 58 orang lulus penelitian berkas administrasi dari 67 orang total pendaftar.

Selanjutnya, 58 orang tersebut akan mengikuti tahapan yang sudah ditentukan, yakni Tes Psikologi, Rabu (24/05/23) di Swiss belhotel Lampung. (sandika)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait