Oleh:
WIRAHADIKUSUMAH
Ketua PWI Lampung
SAYA baru saja tiba di Kota Bandarlampung Kamis (10/2/2022) sore. Setelah selama lima hari berada di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Saya berkunjung ke Kendari dalam rangka mengikuti rangkaian Hari Pers Nasional (HPN). Yang memang dipusatkan di kota tersebut.
Banyak acara yang saya ikuti pada HPN itu. Dari mulai konvensi media massa hingga menghadiri acara puncaknya. Yang dilangsungkan di pelataran Masjid Al Alam.
Masjid ini merupakan kebanggaan warga Kendari. Karena selain arsitekturnya yang megah, masjid ini pun berdiri di atas perairan laut yang tenang.
Namun, dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas masjid yang diresmikan pada 2018 itu. Mungkin nanti, saya akan tuliskan sendiri dalam artikel berikutnya.
Pada tulisan ini, saya ingin menceritakan suasana acara puncak HPN. Yang meski tidak dihadiri langsung Presiden Jokowi, namun menambah khasanah pemikiran saya tentang pers. Terutama kondisinya saat ini.
Di acara itu, saya memang menyimak betul sambutan Ketua Dewan Pers Prof. M. Nuh dan Ketua PWI Atal S Depari. Tentu juga sambutan Presiden Jokowi yang disampaikannya melalui online.
Dari tiga orang itu, yang pidatonya sempat membuat saya “tergelitik” adalah pidato M. Nuh.
Walau hanya sebentar menyampaikan pidatonya, saya menyimak apa yang dikatakan mantan menteri pendidikan itu.
Menurutnya, pers adalah saudara kandung dari lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Yang ada di negara ini.
Pers dan tiga lembaga itu disatukan dalam sebuah keluarga besar bernama: NKRI. Dengan ibu yang sama: Ibu Pertiwi.
“Artinya, nasabnya sama, meski nasibnya kadang berbeda,” kelakarnya.
Sayang, M. Nuh dalam pidatonya itu tak menjelaskan, apa yang dimaksudnya dengan nasib yang berbeda itu.
Ia hanya menegaskan, tentang keyakinannya ketiga lembaga itu tidak akan merelakan pers sebagai saudaranya terlunta-lunta.
Ia juga menyakini, kebersamaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bersama pers menjadi satu kesatuan. Untuk membangun bangsa dan negara ini.
Saya menilai, apa yang disampaikan M. Nuh dalam pidatonya itu sarat akan pesan. Ia seakan mengingatkan kepada tiga lembaga itu jika saudara senasabnya pers butuh dukungan. Dalam menghadapi gempuran digital.
Memang, di era disrupsi digital ini telah melahirkan tantangan bagi pers. Untuk terus menyajikan jurnalisme yang berkualitas.
Saya pun sudah berkali-kali menyampaikan, baik lisan maupun tulisan, terkait di zaman ini, bahwa pers tidak hanya dituntut cepat adaptif. Tetapi juga proaktif. Pun inovatif.
Sebab, dengan kemajuan teknologi saat ini, karya jurnalistik tidak lagi cukup dihadirkan melalui tulisan, tetapi juga dengan gambar, video, statistik, atau lainnya.
Tentu, untuk mewujudkan adaptif, proaktif, dan inovatif itu membutuhkan mitra, rekan, dan SDM. Caranya dengan kolaboratif. Atau bersama-sama demi cita-cita pers yang bermartabat dari masa ke masa.
Kolaboratif juga harus dilakukan dengan tiga lembaga tadi. Yang kata M. Nuh saudara se-Ibu Pertiwi tersebut.
Tentu harapannya agar pers tak hanya bernasab sama dengan tiga lembaga itu, tetapi juga bernasib yang sama. (*)