Skip to content
Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh : Ariyadi Ahmad

MUNGKIN kau terlihat kaya dengan kerakusanmu. Bangunan megah tanpak pada rumahmu. Merek mahal pada tunggangan mewahmu, atau pakaian branded yang menempel di tubuhmu. Tapi, sejatinya mentalmu yang rakus itu, mempertontonkan otak dan hatimu yang miskin.

Penggalan kalimat di atas, seketika mebuat bulu kudukku merinding. Kalimat satire yang ku dapat dari secarik kertas pembungkus jajanan pasar, yang ku beli untuk berbuka puasa petang tadi, Jumat (22/04/2022).

Debaran jantungku menjadi lebih cepat. Sulit dibedakan antara debaran jantung ketika jatuh cinta dengan berdebar lantaran khawatir atau bahkan ketakutan.

Aku menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya seirama shalawat yang ku lantunkan. Sedikit lega, walau harus batuk-batuk sembari meletakkan telapak tangan di dada, untuk memastikan ritme detak jantung mulai normal.

Setelah meninggalkan jajanan pasar yang ku beli, di rumah. Aku pun pamit dengan istri untuk keluar, sekedar nyore. Kantor PWI Lampung menjadi destinasiku.

Sepanjang jalan. Sambil memegang setir, lamunanku jauh menerawang. Ya, memikirkan sindiran keras dalam kalimat di bungkus jajanan tadi. Lalu, bertanya pada diri sendiri, apakah aku masuk dalam kategori rakus yang dimaksud dalam kalimat tersebut?

Kemudian hati kecilku dengan cepat menjawab, rekeningmu kosong kawan. Di sakumu hanya ada beberapa lembar uang pecahan lima ribuan, mobilmu empat tahun mati pajak, KPR-mu masih jauh dari kata lunas.

Tapi, bukankah kata rakus tidak identik dengan kekayaan, yang pas-pasan sepertiku bisa saja rakus, karena rakus adalah watak.

Dikutip dari wikipedia rakus atau kerakusan adalah perilaku menikmati kesenangan dan konsumsi berlebihan atas makanan, minuman, atau harta benda sampai pada titik pemborosan atau keroyalan.

Kata kerakusan sendiri berasal dari istilah Latin gluttire yang berarti meneguk atau menelan habis sesuatu sehingga menyebabkan mereka yang membutuhkan menjadi tidak mendapatkannya.

Dari penjelasan itu, jelas bahwa rakus tidak ada kaitannya dengan miskin atau kayanya seseorang. Kemiskinan memang ketakutan sebagian besar manusia. Sebab miskin dianggap sebagai hal yang menyakitkan. Itulah mengapa orang berlomba-lomba menumpuk pundi-pundi harta hingga lupa bersedekah. Padahal, kelalaian untuk berbagi menyeretnya dalam kelas rakus sebagimana kalimat pada bungkus jajanan tadi.

Menurut Almarhum Syeh Ali Jaber (sengaja tidak mengutip kalimat Ustad Tusuf Mansur) dengan bersedekah kita justru sedang menjamin kecukupan hidup kita sendiri hingga ahir hayat, dan itu janji Allah.

Sambil terus menginjak gas, aku pun berniat untuk bersedekah jika Allah memberiku rezeki sore ini. Tiba di parkiran kantor PWI Lampung, kesempatan sedekah pertama langsung menghampiri. Seorang bocah dengan bakul ayaman ditangannya menghampiriku yang belum sempurna memarkirkan kendaraan.

“Sedekahnya om, untuk beli takjil om”.
Tanpa ragu. Aku pun memberikan sebagian dari total uang pecahan lima ribu disaku, kemudian berlalu tanpa memperdulikan kemana si bocah pergi.

Belum saja sempat masuk ke Balai Wartawan H Solfian Akhmad. Rombongan dari Dapoer Abun (nama sebuah warung makan) membawa beberapa dus takjil, untuk diserahkan ke PWI Lampung dan meminta pengurus organisasi profesi itu membagikan kepada pengguna jalan.

“Allahu Akbar. Mungkin ini jawaban atas doaku,” gumamku.

Dalam hati aku pun terus mengagungkan kebesaran-Nya, yang maha romantis dalam menegur hambanya. Sontak aku pun berdoa dalam hati “Jadikanlah kami orang yang ikhlas dalam menerima takdir-Mu ya Rabb”.

Dari pesan pada pembungkus jajanan tadi, aku sempat berprasangka buruk dan mengutuk mereka yang kaya dan enggan bersedekah. Sampai ahirnya kalimat itu pula yang membuatku mengevaluasi diri dan berniat untuk bersedekah, yang kemudian Allah menjawab tunai apa yang ku niatkan.

Sebagai penutup tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk senantiasa berniat terlebih dahulu dalam setiap amalan yang akan dilakukan. Sebab, seorang ideal mengerjakan kebaikan dua kali, ketika ia mendahului dengan niat. Sekali dalam niat dan sekali dalam realisasi (actions).

Ya, dalam beberapa refrensi yang saya baca, tuhan pun melakukan kehendaknya dua kali. Sekali dalam konsep, yaitu di Lauh Mahfuzh, dan selanjutnya dalam implementasi. Tidak gugur selembar daun melainkan tercatat di Lauh Mahfuzh.

Mengutip ucapan Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nazaruddin Umar, niat yang baik, tulus, dan ikhlas melahirkan energi dahsyat. Seseorang yang bekerja dengan niat ikhlas tidak akan merasa lelah, kecewa, dan frustrasi. Bahkan, mati pun akan tersenyum selama ia mempertahankan niat.

“Niat yang baik melahirkan mental hard worker dan good performance yang merupakan prasyarat masyarakat profesional. Niat yang baik menjanjikan output dan outcome yang baik dan besar,” kata Founder Nasaruddin Umar Office (UNO) itu.

Yuk, niatkan perbanyak sedekah. Terlebih di bulan suci ini. Ringankan beban mereka yang banyak dirampok oleh BPJS, pengemplang Bansos dan Mafia Migor.

Wallahu’alam.

______________________

*) Artikel yang sama juga tayang di www.jarrakpos-lampung.com dengan judul “Bungkus Jajanan”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Berita Terkait